(Swary Utami Dewi)

Anggota The Climate Reality Indonesia, Alumni YISC Al Azhar

nusakini.com - Beberapa tahun lalu, tepatnya 17 Juni 2017, aku mengunjungi Desa Sade yang merupakan desa adat Suku Sasak di Lombok Tengah. Sang pemandu wisata lokal, yang bernama Salim atau Bapak Zidane, mengajakku berkeliling. Di salah satu rumah adat, ada seorang nenek tua menunggui dagangannya berupa gelang dan kalung bermata "kepeng tepunq" atai koin bolong tua (yang kerap dipergunakan sebagai mas kawin atau diletakkan di suatu tempat khusus saat ada upacara adat). Nama perempuan sepuh ini Ina Esam. Ia tinggal bersama sang suami yang juga sudah sama-sama renta.

Aku duduk agak lama mendengarkan cerita Ina Esam yang bertutur dalam Bahasa Sasak dan diterjemahkan oleh Salim. Beliau berkata bahwa aku beruntung memiliki anak laki-laki dan perempuan yang sampai sekarang masih bersamaku. Ina Esam memiliki 3 anak yang semua perempuan. Dan semua anak perempuannya melakukan kawin lari atau "merari" atau "melaiq" saat mereka berusia 13 tahun. 

Ina bercerita bahwa tradisi Suku Sasak jika dua belah pasangan telah suka sama suka dan memutuskan untuk menikah, maka sang pria akan membawa lari perempuan. Tempatnya bisa ke rumah keluarga lelaki atau ke tempat lain yang dianggap aman. Dalam beberapa hari, keluarga lelaki akan datang ke rumah keluarga perempuan menyatakan bahwa sang gadis telah dilarikan. Lalu lazimnya disepakati berbagai hal untuk penyelenggaraan pernikahan, terutama kesepakatan tentang mas kawin dari keluarga perempuan.

Bagi Ina Esam, merari merupakan tradisi adat yang memang lazim dilakukan Suku Sasak dan sampai sekarang masih dilakukan. Tapi yang menyedihkan baginya adalah ia harus melepas semua anaknya menikah masih dalam usia yang sangat muda. "Padahal saya masih ingin menyayangi anak-anak saya lebih lama," ujarnya sendu. 

Kini Ina Esam, yang mengaku sudah berusia lebih 100 tahun, menghabiskan masa tuanya berdua dengan suami yang juga renta. Sesekali anak-anak, menantu dan cucunya datang. Dan itu yang membuatnya bisa terhibur. Ina Esam berharap tradisi kawin lari ini tidak lagi membuat banyak keluarga harus melepas anak perempuannya dari usia yang masih sangat muda. (pr/eg)